Oleh : Rizky Amalia Ditasari
(Universitas Airlangga)
Kakak damping dari : Elvina
Wahyuning Satyawati
Kecamatan Semampir
Surabaya
Kegiatan sosial merupakan kegiatan yang sangat saya
senangi. Mengikuti kegiatan sosial memberikan kepuasaan tersendiri bagi spirituality saya. Bahkan kegiatan
sosial sudah seperti menjadi hobi saya dan kebutuhan saya. Bergelut di kegiatan
sosial khususnya dalam penanganan anak-anak merupakan hal yang sering saya
lakukan di beberapa komunitas sosial seperti Kampus Peduli Surabaya, Aku
Berdonasi Magetan , Kelas Inspirasi yang sebagai salah satu gerakan dibawah
Indonesia Megajar, dan juga pada organisasi-organisasi kampus pada departemen
Pengabdian Masyarakat. Hampir semua kegiatan yang saya ikuti pada beberapa
komunitas tersebut adalah bergelut pada penanganan anak-anak. Namun, pada saat
ini saya sedang mengikuti sebuah program dari Dinas Sosial Kota Surabaya yaitu Campus Social Responsibility.
Campus Social Responsibility (CSR) merupakan sebuah wadah bagi saya yang
notabennya sangat menyukai kegiatan-kegiatan sosial. Saya sangat tertarik dan
mendukung dengan adanya progam CSR ini. Kegiatan ini lebih memberikan kesempatan
kepada saya untuk belajar kehidupan orang lain yang kurang beruntung secara
lebih dekat. Berbeda dengan kegiatan sosial yang sebelumnya saya ikuti,
kegiatan ini benar-benar lebih saya rasakan ketika saya benar-benar terjun
melakukan pendampingan pada adik damping yang telah diberikan oleh pihak Dinas
Sosial Kota Surabaya.
Pertama kali saya melakukan kunjungan ke rumah
adik damping, saya mengunjungi alamat rumah adik damping yang telah diberikan
oleh Dinsos. Pada waktu pertama saya berkunjung ke alamat tersebut ternyata
alamat yang diberikan oleh Dinsos adalah alamat dari nenek adik damping yang
awalnya adik damping juga tinggal di rumah tersebut. Namun pada waktu itu adik
damping sudah tidak tinggal di rumah itu lagi. Di rumah itu saya bertemu dengan
kakak dari ibunya adik damping. Karena
saya tidak ingin berhenti disitu saja, saya meminta alamat adik damping yang
baru pada kakak dari ibunya adik damping tersebut. Setelah diberikan alamat
barunya, saya bergegas mencari lokasi alamat tersebut dan akhirnya ketemu yaitu
di Tenggumung baru gang batak no : 207.
Hari itu pertama kali bagi
saya ke rumah seseorang yang berada di jajaran lebih dari 20 rumah dengan
ukuran sama yaitu 3x3m pada satu gang. Masuk di kediaman adik damping tersebut
membuat saya melongo dan ketika itu sontak memberikan pelajaran hidup bagi saya
tentang artinya bersyukur karena masih ada orang yang jauh lebih kurang
beruntung di bandingkan diri saya. Rumah 3x3m yang merupakan tempat tidur
sekaligus dapur itu juga dipenuhi tumpukan baju baju yang tidak muat dimasukkan
ke lemari kecil di rumah tersebut, begitu sempit ketika memang ada tamu yang
berkunjung. Bahkan ketika saya banyak berbincang untuk perkenalan antar saya
dengan keluarga adik damping, saya merasa terkejut dengan ukuran rumah 3x3m
tersebut ternyata dihuni oleh enam orang yaitu ibu, bapak dan ke empat anaknya,
sontak saya tidak bisa membayangkan bagaimana mereka tidur.
Elvina Wahyuning Satyawati
(Vina), itulah nama adik damping saya. Vina ini baru lulus SD dan ketika saya
berkunjung pada waktu itu ibunya dan dia bercerita tidak ingin melanjutkan
sekolah ke jenjang SMP karena keterbatasan biaya. Ketika saya bertanya jika
tidak melanjutkan sekolah apa yang akan Vina kerjakan, ibunya menjawab Vina
akan membantu ibunya bekerja melipat kardus kebab yang gajinya Rp. 15.000 /
1000 kardus kebab. Pekerjaan ini diberikan oleh teman ibunya yang sifatnya
musiman. Saya tidak habis pikir ketika anak yang harusnya bisa menikmati bangku
sekolah dengan teman-temannya harus berhenti sekolah hanya karena itu. Ibunya
merupakan pekerja musiman, yaitu bekerja ketika ada orang yang menyuruhnya
mencuci baju atau melipat kardus kebab. Bapaknya adalah seorang tukang yang
kerjanya juga jika ada garapan saja. Vina adalah anak kedua dari 5 bersaudara,
kakaknya yang juga putus sekolah bekerja menjadi tukang, dua adiknya masih di
bangku SD yang masuk dalam kategori rentan putus sekolah, serta anak terakhir
sudah diberikan ke orang lain karena kedua orang tuanya sudah tak mampu
membiayainya.
|
Bersama Elvina W. S. |
Melihat kakaknya yang putus
sekolah saya tidak ingin Vina juga menjadi anak putus sekolah, saya mencoba
berbicara kepada kedua orang tuanya dan berbicara dengan Vina tentang
pentingnya pendidikan. Setelah orang tuanya pesimis mengenai biaya sekolah,
saya mencoba meyakinkan bahwa untuk biaya itu gampang, saya akan berusaha
mencari bantuan untuk membantu apabila memang biaya menjadi penghalang Vina
untuk melanjutkan sekolah. Entah apa yang saya pikirkan saat bicara waktu itu,
saya juga belum tahu harus mencari bantuan biaya kemana padahal saya kuliah
saja juga beasiswa bidikmisi, sehingga saya tidak mungkin membantu dengan uang
saya sendiri. Namun, saya tetap bertekad bahwa saya akan berusaha membantu
mereka.
Pada akhirnya kedua orang
tuanya dan Vina mau untuk melanjutkan sekolah. Saat itu juga sedang musim
pendaftaran sekolah, sehingga tanpa pikir ulang saya memberikan semangat untuk
Vina agar mendaftar sekolah, Namun kesulitan bukan berhenti disini. Pasalnya
Vina telah mendaftar di beberapa sekolah negri namun tidak diterima karena nilai
pada ijasahnya kecil. Pada waktu itu saya ke rumah Vina lagi untuk membicarakan
terkait sekolah ini. Hingga saya memberikan saran untuk daftar di sekolah
swasta, namun yang terjadi adalah kedua orang tuanya menolak karena khawatir
dengan biaya di sekolah swasta. Saya kembali meyakinkan bahwa untuk biaya itu
gampang, saya akan berusaha mencari bantuan untuk membantu apabila memang biaya
menjadi penghalang Vina untuk melanjutkan sekolah. Yang jelas disini saya
hampir putus asa karena pesimis dari kedua orang tuanya. Namun saya juga
berfikir, ketika mereka pesimis dan putus asa, ini semua akan berakhir.
Akhirnya saya kembalikan semangat saya, saya kembalikan kepercayaan saya bahwa
saya akan bisa membantu mereka. Dan setelah merayu dan meyakinkan kedua orang
tuanya, Vina daftar di SMP Cahaya Surabaya. Sekolah ini memberikan gratis biaya
SPP, UTS dan UAS, sehingga memberikan kelegaan bagi saya dan keluarga adik
damping yang sebelumnya berfikir bagaimana biaya sekolah nantinya.
Kesulitan tidak berhenti
disitu, ketika mendaftar di SMP Cahaya, ternyata tetap ada biaya pendaftaran
sebesar Rp. 600.000, setara dengan living cost yang saya dapat setiap bulannya
dari DIKTI. Saya mulai bingung kembali ketika tagihan itu ada, orang tuanya
yang gampang pesimis membuat saya seolah sudah mentok tidak tahu jalan lain.
Namun, kami mengusahakan untuk tetap membayar agar Vina bisa sekolah dengan
cara mencicil senilai Rp. 200.000 (kurang Rp. 400.000). Belum lunas uang
pendaftaran, Vina sudah diminta membayar uang buku dan uang segaram senilai Rp.
344.000, sehingga total tagihan yang harus dibayar berjumlah Rp. 744.000. Saya
tidak mungkin memberikan uang living cost beasiswa saya untuk membayar tagihan
pendaftaran adik damping saya karena saya tidak dapat pemasukan lain selain uang
tersebut untuk membayar kos dan kebutuhan sehari hari saya. Akhirnya saya
ceritakan kesulitan saya ini kepada Satgas yaitu mas Aru dan mas Yudi.
Beberapa hari setelah saya
cerita pada Satgas, Alhamdulillah saya mendapat kabar dari Satgas yang
mendapatkan info dari Ibu Nur bagian Kesra Kecamatan Semampir bahwa Ketua
Yayasan dari sekolah Vina adalah Sekretaris Kecamatan Semampir. Pada akhirnya
saya dan Satgas menghadap ke Bapak Kanan selaku Sekcam Semampir, dan kami
membicarakan masalah Vina tersebut, hingga Bapak Kanan bersedia membantu untuk
menggratiskan kekurangan biaya pendaftaran senilai Rp. 400.000. Bapak Kanan
hanya bisa membantu terkait biaya pendaftaran karena untuk seragam dan buku
bukan dikelola langsung oleh yayasan melainkan pihak sekolah.
Saya segera memberitahukan
kepada keluarga Vina, namun beberapa kali saya ke rumah Vina, rumahnya selalu
tutup dan nomor kontaknya tidak dapat dihubungi. Saya mulai ingin menyerah
ketika kesulitan datang bertubi-tubi. Namun setelah beberapa kali saya tidak bertemu
keluarganya termasuk Vina di rumahnya, saya tekadkan kembali ke rumahnya dan
akhirnya ketemu. Saya membicarakan soal Bapak Kanan yang telah menggratiskan
kekurangan biaya pendaftaran sekolah, namun sayang sekali ternyata ibunya telah
melunasi biaya tersebut dengan mencari pinjaman uang ke orang lain, hal ini
dilakukan ibunya karena Vina sudah mulai mogok sekolah karena belum membayar
uang pendaftaran, uang seragam dan uang buku. Disisi saya merasa terlambat
memberikan informasi kepada mereka, saya merasa senang karena ibunya sudah
mulai bersemangat untuk mempertahankan anaknya agar tidak putus sekolah. Sebuah
kemajuan yang membuat saya semakin semangat mendampingi Vina.
Biaya pendaftaran telah
lunas, namun buku dan seragam belum dibayar, ketika saya di rumah Vina, Vina
terus merengek ke ibunya untuk segera membayar kekurangan tagihan tersebut.
Karena saya takut Vina mogok sekolah atau bahkan bisa jadi putus sekolah hanya
karena biaya, saya beranikan diri untuk bertemu Bapak Kanan lagi tanpa Satgas.
Ketika saya bertemu dengan
Bapak Kanan, saya ceritakan semua kronologi kepada beliau. Dan saya
memberanikan diri untuk meminta bantuan terkait biaya seragam dan buku yang
sebelumnya sudah dijelaskan beliau bahwa beliau hanya bisa bantu terkait biaya
pendaftaran. Lagi lagi kesulitan itu ada, Bapak Kanan menjelaskan kembali
terkait hanya bisa bantu biaya pendaftaran. Disitu saya berfikir ulang
bagaimana caranya agar biaya seragam dan buku Vina lunas, dan saya meminta
bantuan kepada Bapak Kanan untuk uang pendaftaran yang sudah dibayarkan Vina
dengan uang yang didapat ibunya dari pinjaman untuk disposisikan ke uang buku
dan seragam. Dan akhirnya Alhamdulillah Bapak Kanan membantu dan memberikan
saya surat disposisi yang harus diserahkan TU Sekolah untuk biaya buku dan
seragam. Sekarang ibunya sedang memikirkan bagaimana caranya mengembalikan uang
pinjaman yang tempo lalu dibayarkan ke sekolah. Saya memberikan saran agar
ibunya kembali berjualan gorengan seperti dulu untuk mendapat tambahan uang,
dan akhirnya sekarang ibunya kembali berjualan gorengan di depan rumahnya.
Sejauh ini itulah pengalaman
pendampingan saya, dari sedikit cerita saya ini tadi saya ingin memberikan
pesan bahwa :
“Keterbatasan ekonomi bukanlah menjadi penghalang seseorang untuk melanjutkan
pendidikan yang lebih tinggi. Keterbatasan ekonomi bukanlah menjadi penghalang
seseorang untuk berprestasi. Ketebatasan ekonomi juga bukanlah menjadi
penghalang kita untuk berbagi, karena esensi dari berbagi tidak hanya melalui
materi, namun lebih kepada bagaimana kita dapat turun tangan langsung melakukan
aksi, aksi tentang kedekatan kita, perhatian kita, empati,
dan seberapa peka kita melihat dan memberi dengan hati bisa
kita lakukan untuk terus berbagi yang akan dapat menginspirasi dan
terinspirasi.”