Lihatlah sekitarmu, dengan begitu kau akan dapat ilmu. Ilmu kehidupan untuk dirimu, yang akan kau lalui bersama waktu

Thursday 15 October 2015

Memberi hati melalui program CSR Dinas Sosial Kota Surabaya


Oleh : Rizky Amalia Ditasari
(Universitas Airlangga)
Kakak damping dari : Elvina Wahyuning Satyawati
Kecamatan Semampir
Surabaya 



Kegiatan sosial merupakan kegiatan yang sangat saya senangi. Mengikuti kegiatan sosial memberikan kepuasaan tersendiri bagi spirituality saya. Bahkan kegiatan sosial sudah seperti menjadi hobi saya dan kebutuhan saya. Bergelut di kegiatan sosial khususnya dalam penanganan anak-anak merupakan hal yang sering saya lakukan di beberapa komunitas sosial seperti Kampus Peduli Surabaya, Aku Berdonasi Magetan , Kelas Inspirasi yang sebagai salah satu gerakan dibawah Indonesia Megajar, dan juga pada organisasi-organisasi kampus pada departemen Pengabdian Masyarakat. Hampir semua kegiatan yang saya ikuti pada beberapa komunitas tersebut adalah bergelut pada penanganan anak-anak. Namun, pada saat ini saya sedang mengikuti sebuah program dari Dinas Sosial Kota Surabaya yaitu Campus Social Responsibility.
Campus Social Responsibility (CSR) merupakan sebuah wadah bagi saya yang notabennya sangat menyukai kegiatan-kegiatan sosial. Saya sangat tertarik dan mendukung dengan adanya progam CSR ini. Kegiatan ini lebih memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar kehidupan orang lain yang kurang beruntung secara lebih dekat. Berbeda dengan kegiatan sosial yang sebelumnya saya ikuti, kegiatan ini benar-benar lebih saya rasakan ketika saya benar-benar terjun melakukan pendampingan pada adik damping yang telah diberikan oleh pihak Dinas Sosial Kota Surabaya.
Pertama kali saya melakukan kunjungan ke rumah adik damping, saya mengunjungi alamat rumah adik damping yang telah diberikan oleh Dinsos. Pada waktu pertama saya berkunjung ke alamat tersebut ternyata alamat yang diberikan oleh Dinsos adalah alamat dari nenek adik damping yang awalnya adik damping juga tinggal di rumah tersebut. Namun pada waktu itu adik damping sudah tidak tinggal di rumah itu lagi. Di rumah itu saya bertemu dengan kakak dari ibunya adik damping.  Karena saya tidak ingin berhenti disitu saja, saya meminta alamat adik damping yang baru pada kakak dari ibunya adik damping tersebut. Setelah diberikan alamat barunya, saya bergegas mencari lokasi alamat tersebut dan akhirnya ketemu yaitu di Tenggumung baru gang batak no : 207.
Hari itu pertama kali bagi saya ke rumah seseorang yang berada di jajaran lebih dari 20 rumah dengan ukuran sama yaitu 3x3m pada satu gang. Masuk di kediaman adik damping tersebut membuat saya melongo dan ketika itu sontak memberikan pelajaran hidup bagi saya tentang artinya bersyukur karena masih ada orang yang jauh lebih kurang beruntung di bandingkan diri saya. Rumah 3x3m yang merupakan tempat tidur sekaligus dapur itu juga dipenuhi tumpukan baju baju yang tidak muat dimasukkan ke lemari kecil di rumah tersebut, begitu sempit ketika memang ada tamu yang berkunjung. Bahkan ketika saya banyak berbincang untuk perkenalan antar saya dengan keluarga adik damping, saya merasa terkejut dengan ukuran rumah 3x3m tersebut ternyata dihuni oleh enam orang yaitu ibu, bapak dan ke empat anaknya, sontak saya tidak bisa membayangkan bagaimana mereka tidur.
Elvina Wahyuning Satyawati (Vina), itulah nama adik damping saya. Vina ini baru lulus SD dan ketika saya berkunjung pada waktu itu ibunya dan dia bercerita tidak ingin melanjutkan sekolah ke jenjang SMP karena keterbatasan biaya. Ketika saya bertanya jika tidak melanjutkan sekolah apa yang akan Vina kerjakan, ibunya menjawab Vina akan membantu ibunya bekerja melipat kardus kebab yang gajinya Rp. 15.000 / 1000 kardus kebab. Pekerjaan ini diberikan oleh teman ibunya yang sifatnya musiman. Saya tidak habis pikir ketika anak yang harusnya bisa menikmati bangku sekolah dengan teman-temannya harus berhenti sekolah hanya karena itu. Ibunya merupakan pekerja musiman, yaitu bekerja ketika ada orang yang menyuruhnya mencuci baju atau melipat kardus kebab. Bapaknya adalah seorang tukang yang kerjanya juga jika ada garapan saja. Vina adalah anak kedua dari 5 bersaudara, kakaknya yang juga putus sekolah bekerja menjadi tukang, dua adiknya masih di bangku SD yang masuk dalam kategori rentan putus sekolah, serta anak terakhir sudah diberikan ke orang lain karena kedua orang tuanya sudah tak mampu membiayainya.

Bersama Elvina W. S.

Melihat kakaknya yang putus sekolah saya tidak ingin Vina juga menjadi anak putus sekolah, saya mencoba berbicara kepada kedua orang tuanya dan berbicara dengan Vina tentang pentingnya pendidikan. Setelah orang tuanya pesimis mengenai biaya sekolah, saya mencoba meyakinkan bahwa untuk biaya itu gampang, saya akan berusaha mencari bantuan untuk membantu apabila memang biaya menjadi penghalang Vina untuk melanjutkan sekolah. Entah apa yang saya pikirkan saat bicara waktu itu, saya juga belum tahu harus mencari bantuan biaya kemana padahal saya kuliah saja juga beasiswa bidikmisi, sehingga saya tidak mungkin membantu dengan uang saya sendiri. Namun, saya tetap bertekad bahwa saya akan berusaha membantu mereka.
Pada akhirnya kedua orang tuanya dan Vina mau untuk melanjutkan sekolah. Saat itu juga sedang musim pendaftaran sekolah, sehingga tanpa pikir ulang saya memberikan semangat untuk Vina agar mendaftar sekolah, Namun kesulitan bukan berhenti disini. Pasalnya Vina telah mendaftar di beberapa sekolah negri namun tidak diterima karena nilai pada ijasahnya kecil. Pada waktu itu saya ke rumah Vina lagi untuk membicarakan terkait sekolah ini. Hingga saya memberikan saran untuk daftar di sekolah swasta, namun yang terjadi adalah kedua orang tuanya menolak karena khawatir dengan biaya di sekolah swasta. Saya kembali meyakinkan bahwa untuk biaya itu gampang, saya akan berusaha mencari bantuan untuk membantu apabila memang biaya menjadi penghalang Vina untuk melanjutkan sekolah. Yang jelas disini saya hampir putus asa karena pesimis dari kedua orang tuanya. Namun saya juga berfikir, ketika mereka pesimis dan putus asa, ini semua akan berakhir. Akhirnya saya kembalikan semangat saya, saya kembalikan kepercayaan saya bahwa saya akan bisa membantu mereka. Dan setelah merayu dan meyakinkan kedua orang tuanya, Vina daftar di SMP Cahaya Surabaya. Sekolah ini memberikan gratis biaya SPP, UTS dan UAS, sehingga memberikan kelegaan bagi saya dan keluarga adik damping yang sebelumnya berfikir bagaimana biaya sekolah nantinya.
Kesulitan tidak berhenti disitu, ketika mendaftar di SMP Cahaya, ternyata tetap ada biaya pendaftaran sebesar Rp. 600.000, setara dengan living cost yang saya dapat setiap bulannya dari DIKTI. Saya mulai bingung kembali ketika tagihan itu ada, orang tuanya yang gampang pesimis membuat saya seolah sudah mentok tidak tahu jalan lain. Namun, kami mengusahakan untuk tetap membayar agar Vina bisa sekolah dengan cara mencicil senilai Rp. 200.000 (kurang Rp. 400.000). Belum lunas uang pendaftaran, Vina sudah diminta membayar uang buku dan uang segaram senilai Rp. 344.000, sehingga total tagihan yang harus dibayar berjumlah Rp. 744.000. Saya tidak mungkin memberikan uang living cost beasiswa saya untuk membayar tagihan pendaftaran adik damping saya karena saya tidak dapat pemasukan lain selain uang tersebut untuk membayar kos dan kebutuhan sehari hari saya. Akhirnya saya ceritakan kesulitan saya ini kepada Satgas yaitu mas Aru dan mas Yudi.
Beberapa hari setelah saya cerita pada Satgas, Alhamdulillah saya mendapat kabar dari Satgas yang mendapatkan info dari Ibu Nur bagian Kesra Kecamatan Semampir bahwa Ketua Yayasan dari sekolah Vina adalah Sekretaris Kecamatan Semampir. Pada akhirnya saya dan Satgas menghadap ke Bapak Kanan selaku Sekcam Semampir, dan kami membicarakan masalah Vina tersebut, hingga Bapak Kanan bersedia membantu untuk menggratiskan kekurangan biaya pendaftaran senilai Rp. 400.000. Bapak Kanan hanya bisa membantu terkait biaya pendaftaran karena untuk seragam dan buku bukan dikelola langsung oleh yayasan melainkan pihak sekolah.
Saya segera memberitahukan kepada keluarga Vina, namun beberapa kali saya ke rumah Vina, rumahnya selalu tutup dan nomor kontaknya tidak dapat dihubungi. Saya mulai ingin menyerah ketika kesulitan datang bertubi-tubi. Namun setelah beberapa kali saya tidak bertemu keluarganya termasuk Vina di rumahnya, saya tekadkan kembali ke rumahnya dan akhirnya ketemu. Saya membicarakan soal Bapak Kanan yang telah menggratiskan kekurangan biaya pendaftaran sekolah, namun sayang sekali ternyata ibunya telah melunasi biaya tersebut dengan mencari pinjaman uang ke orang lain, hal ini dilakukan ibunya karena Vina sudah mulai mogok sekolah karena belum membayar uang pendaftaran, uang seragam dan uang buku. Disisi saya merasa terlambat memberikan informasi kepada mereka, saya merasa senang karena ibunya sudah mulai bersemangat untuk mempertahankan anaknya agar tidak putus sekolah. Sebuah kemajuan yang membuat saya semakin semangat mendampingi Vina.
Biaya pendaftaran telah lunas, namun buku dan seragam belum dibayar, ketika saya di rumah Vina, Vina terus merengek ke ibunya untuk segera membayar kekurangan tagihan tersebut. Karena saya takut Vina mogok sekolah atau bahkan bisa jadi putus sekolah hanya karena biaya, saya beranikan diri untuk bertemu Bapak Kanan lagi tanpa Satgas.
Ketika saya bertemu dengan Bapak Kanan, saya ceritakan semua kronologi kepada beliau. Dan saya memberanikan diri untuk meminta bantuan terkait biaya seragam dan buku yang sebelumnya sudah dijelaskan beliau bahwa beliau hanya bisa bantu terkait biaya pendaftaran. Lagi lagi kesulitan itu ada, Bapak Kanan menjelaskan kembali terkait hanya bisa bantu biaya pendaftaran. Disitu saya berfikir ulang bagaimana caranya agar biaya seragam dan buku Vina lunas, dan saya meminta bantuan kepada Bapak Kanan untuk uang pendaftaran yang sudah dibayarkan Vina dengan uang yang didapat ibunya dari pinjaman untuk disposisikan ke uang buku dan seragam. Dan akhirnya Alhamdulillah Bapak Kanan membantu dan memberikan saya surat disposisi yang harus diserahkan TU Sekolah untuk biaya buku dan seragam. Sekarang ibunya sedang memikirkan bagaimana caranya mengembalikan uang pinjaman yang tempo lalu dibayarkan ke sekolah. Saya memberikan saran agar ibunya kembali berjualan gorengan seperti dulu untuk mendapat tambahan uang, dan akhirnya sekarang ibunya kembali berjualan gorengan di depan rumahnya.
Sejauh ini itulah pengalaman pendampingan saya, dari sedikit cerita saya ini tadi saya ingin memberikan pesan bahwa :
 
“Keterbatasan ekonomi bukanlah menjadi penghalang seseorang untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Keterbatasan ekonomi bukanlah menjadi penghalang seseorang untuk berprestasi. Ketebatasan ekonomi juga bukanlah menjadi penghalang kita untuk berbagi, karena esensi dari berbagi tidak hanya melalui materi, namun lebih kepada bagaimana kita dapat turun tangan langsung melakukan aksi, aksi tentang kedekatan kita, perhatian kita, empati, dan seberapa peka kita melihat dan memberi dengan hati bisa kita lakukan untuk terus berbagi yang akan dapat menginspirasi dan terinspirasi.”

No comments:

Post a Comment